Kamis, 16 Juli 2009

SELENDANG BIRU HERA

Hera memandangi langit yang terlihat cerah sejak pagi tadi. Pikirannya menerawang jauh ke desanya nun jauh di sana. Ingatannya kembali kemasa lampau saat ia masih duduk di Sekolah Dasar. Hera tidak pernah mendapat nilai baik dalam pelajaran berhitung, ia juga lemah dalam menghapal. Dari segi fisik ia juga sangat sederhana. Praktis Hera tidak menonjol di kelasnya saat itu. Satu-satunya keahlian Hera adalah menari. Kalau ia sudah menari maka semua penonton akan terpukau menatapnya. Gerakannya sungguh lemah gemulai. Dan ia sangat lihai memainkan selendangnya saat menari. Segala kekurangan Hera pada berbagai bidang pelajaran di sekolah akan terhapus saat teman-temannya melihat ia menari.
Tapi ayah Hera tidak pernah suka Hera menari. Ia ingin anaknya menjadi dokter atau insinyur yang waktu itu sangat dibangga-banggakan oleh para orang tua. Ayah Hera termasuk orang berada di desanya. Ia bisa membayar guru privat untuk mengajar putri tunggalnya agar pandai dalam pelajaran sekolah. Tapi Hera telanjur cinta dengan tarian, ia hanya bisa berkonsentrasi saat menghapal gerakan tari dan irama musik yang mengiringinya. Hera tidak pernah bisa memenuhi keinginan ayahnya, walau ia sudah berusaha. Pelajaran tambahan yang diterima seperti masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri saja. Sudah tentu ayah Hera sangat kecewa.
Selepas Sekolah Lanjutan Hera tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi, bukan karena tidak ada biaya tapi karena ayah nya tidak mau membiayai jika ia tidak masuk jurusan yang dipilihkan ayahnya. Hera lebih memilih menempuh jalannya sendiri, ia pun nekat pergi ke ibukota untuk mengembangkan bakat menarinya dan mencari penghasilan sendiri.
Sampai di Jakarta Hera bertemu dengan pemilik sanggar tari terkenal. Melihat cara Hera menari si pemilik sanggar tertarik dan langsung mengangkat Hera menjadi assistennya. Hera bekerja di sanggar tari tersebut beberapa tahun, sampai ia merasa cukup mempunyai modal untuk membuka sanggar tari sendiri, ia pun mengundurkan diri dan segera membuka sanggar tari baru di Jakarta.
Tak terasa sudah 15 tahun sejak ia meninggalkan desanya, sampai kerinduan yang sangat dalam menyeruak dalam hatinya untuk kembali ke desanya. Keinginan itu sangat kuat tapi ketakutan Hera akan reaksi ayahnya saat ia kembali lebih kuat. Hingga ia tak tahan lagi dan memutuskan untuk segera pulang apapun yang akan dihadapinya nanti.
Sepanjang jalan Hera berdoa agar masih diberi kesempatan bertemu dengan kedua orang tua yang sangat dicintainya. Dan berharap mereka masih hidup dan baik-baik saja. Perasaan dihatinya bercampuk-aduk saat itu. Dari jendela kereta yang ia tumpangi ia memandang ke langit yang biru sebiru selendang yang biasa ia kenakan saat menari.
Menapaki tanah kelahirannya, jantung Hera berdegup kencang sekali. Ia melihat sekeliling tidak tampak perubahan yang berarti sebagian besar masih sama dengan saat ia tinggalkan 15 tahun yang lalu. Atap rumah bentuk joglo khas orang jawa masih tampak menghias rumahnya, hanya warnanya sudah lebih kusam.
"Kulonuwon", sapanya begitu memasuki rumah. Dari arah dalam terlihat sesosok tubuh yang sangat ia kenal mendekat. "Ibu?"Tanya Hera dengan agak suara agak tercekat. "Siapa itu?"Jawab si pemilik rumah. "Ini aku bu Hera, ibu masih ingat kan anak ibu, Hera anak ibu",sergah Hera bertubi-tubi. Wajah sang ibu pun menegang dan pecahlah tangisnya seketika ia mengenali bahwa yang datang benar-benar putrinya yang sudah lama sekali meninggalkan rumah pergi dan tak ada kabarnya. Mereka pun bertangis-tangisan dan saling berpelukan melepas rindu yang sangat dalam.
Sejurus kemudian Hera menanyakan ayahnya. "Bapak dimana bu? Apa sehat-sehat saja?"Sang ibu tidak langsung menjawab. Ia seperti kehilangan kata-kata untuk bicara. Hingga akhirnya ia berkata, "Bapakmu masih hidup beliau ada dikamarnya, tapi apakah ia sehat atau tidak ibu juga bingung mengatakannya, lebih baik kau tengok sendiri saja ke kamarnya, nduk".
Dengan perasaan tak karuan Hera melangkah ke kamar ayahnya, ia mengetuk pintu kamar perlahan dan mendorong sedikit pintu kamar ayahnya hingga terbuka dan terlihatlah sang ayah di dalam sana.
Hera mendekat perlahan pada ayahnya dengan sangat hati-hati ia melihat sosok sang ayah yang terlihat lebih tua dari umurnya, sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia tinggalkan dulu. Mata Hera tertumbuk pada selendang biru yang melingkar dileher ayahnya, ia mengenali itu selendang tarinya yang sering ia pakai saat menari dulu. Hera punya banyak selendang tapi selendang birulah yang sangat ia sayangi.
"Sejak kau pergi, bapakmu seperti orang linglung. Ia terus memegangi selendangmu seolah-olah kau masih disini, sampai kini selendang itu terus melingkar dilehernya", kata sang ibu dari arah belakang punggung Hera. Hera menoleh kearah ibunya dan kembali melihat ayahnya. Hera lantas duduk bersimpuh dibawa kaki ayahnya dan berkata,"Pak, ini Hera sudah pulang, Hera kangen sama bapak. Bapak sembuh ya, Hera janji tidak akan pergi lagi, tapi bapak sembuh ya..."Hera terus menangis dan meminta maaf pada ayahnya. Sampai kemudian perlahan sang ayah mulai memberi reaksi dan menoleh kearahnya. "Hera...Hera ini kamu nduk?"Tanyanya terbata. Hera mengangguk sambil terus menangis dan tak bisa berkata-kata. Lalu sang ayah bangkit dari kursi tuanya dan mengangkat pundak Hera mengajak berdiri bersama. Dan ketika sang ayah memeluk Hera, Hera langsung menangis hebat. Tuntas sudah semua kerinduan yang dipendamnya selama ini. Hera pulang... kembali ke desa dan tak akan pergi lagi.

2 komentar:

sastra radio mengatakan...

natural, inspiratif. semangat terus dalam berkarya ya mbak. salam sukses.

mbahe54 mengatakan...

inspiratif, terus berkarya karena dengan karya kita akan dikenang oleh dunia