Rabu, 26 Januari 2011

Mengukur tingkat kepekaan seorang pemimpin ...

Tulisan ini saya buat karena tergerak dengan begitu maraknya opini yang terjadi di masyarakat saat ini, berkaitan dengan pidato presiden  yang mengeluhkan gajinya yang tak kunjung naik selama tujuh tahun. Tadinya saya sempat tertawa sendiri begitu membaca headline news pada salah satu media cetak Indonesia yang membahas hal tersebut. Saya pikir, "Ah..ini pasti hanya berita sensasional untuk meningkatkan oplah penjualan." Tapi begitu saya cermati ternyata ini sungguhan, benar-benar fakta seorang presiden RI yang merupakan pimpinan tertinggi negara yang seharusnya menjadi panutan dan sandaran bagi rakyatnya mengeluarkan pernyataan yang sangat kontroversif (paling tidak menurut saya). 
Bukan saja mengejutkan karena pernyatan tersebut dikeluarkan oleh orang nomor satu di negeri ini, namun juga sangat tidak pada tempatnya mengeluhkan hal tersebut dihadapan forum dan pada kesempatan resmi. Selain tidak pantas (bahkan dalam suatu rumah tangga kecil hal tersebut merupakan hal sangat sensitif, sampai-sampai hanya boleh dibicarakan oleh pasangan suami istri, dan terlarang bagi anak-anak dan orang-orang yang tinggal satu atap dalam keluarga tersebut, apalagi untuk orang lain diluar rumah tangga mereka..begitulah logikanya..sekali lagi, menurut saya lho) hal itu juga dapat melukai hati kebanyakan masyarakat Indonesia, dalam hal ini yang masuk kedalam golongan ekonomi lemah atau yang hidupnya berada dibawah garis kemiskinan (yang pas di garis kemiskinan pun bisa tersinggung, apalagi yang dibawahnya..betul?).
Saya lalu membandingkan presiden yang digaji sebesar sekitar Rp 62.000.000 (belum termasuk dana taktis dan lain sebagainya, karena menurut seorang pakar dan pengamat setelah ditambah ini itu gaji yang dibawa pulang ke rumah bisa mencapai angka Milyaran Rupiah juga, seperti yang diperoleh presiden Singapura, begitu presiden kita membandingkan gajinya dengan beliau) dengan para buruh kasar atau orang-orang yang bekerja serabutan yang untuk memenuhi kebutuhan pokok paling vital, dalam hal ini makan, pun sangat sulit dan penuh perjuangan untuk memperolehnya. Mungkin para pemimpin disini perlu sesekali meluangkan waktu untuk menonton sebuah acara di salah satu stasiun televisi yang berjudul "JIKA AKU MENJADI..." lalu merenung sejenak dan berkaca pada diri sendiri betapa beruntungnya mereka, betapa tidak pantasnya mengeluh untuk hal yang memang sangat tidak pantas dikeluhkan, betapa mereka harus belajar dari orang-orang kecil yang begitu menghargai suatu nikmat bahkan untuk mendapatkan uang sebesar seribu hingga dua ribu Rupiah saja mereka harus bersusah payah dulu dengan segenap tenaga dan perjuangan. Saya saja sering sekali merasa malu pada diri sendiri usai menonton tayangan tersebut, bagaimana saya dengan mudahnya menghabiskan puluhan bahkan ratusan ribu untuk hal-hal yang terkadang tidak terlalu penting atau bahkan sama sekali tidak saya butuhkan. Bagaimana bisa seseorang yang mempunyai penghasilan begitu besar dengan segala kemudahan dan fasilitas tapi masih saja mengeluh. Sungguh, sampai saat ini saya saya merasa shock dengan pidato presiden kita tersebut.
Setelah kasus Gayus yang tak kunjung tuntas, janganlah kami masyarakat kecil disakiti lagi, bukankah tugas pemimpin itu melindungi, mengayomi, memberi rasa aman, damai, dan tenteram bagi rakyatnya. Jadi tolonglah mulai sekarang berpikirlah sejenak sebelum mengeluarkan pernyataan apapun..karena seperti petikan sebuah lagu lawas populer..."Memang Lidah Tak Bertulang...Tak Terbatas Kata-kata.."
Semoga kedepannya kita semua lebih bijaksana dalam bertindak, bersikap, dan berkata-kata (amin).



Tidak ada komentar: